Dari Kemarau Ekstrem ke Banjir Merusak: Wajah Baru Perubahan Iklim di Indonesia.

Pergeseran drastis dari kekeringan panjang ke banjir bandang merupakan cerminan dari intensitas cuaca yang semakin ekstrem. Fenomena ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan didorong oleh kombinasi faktor-faktor global dan lokal yang saling memperkuat.

 

 Mengapa Cuaca Semakin Ekstrem?

 

Akar masalah dari pergeseran cepat ini adalah pemanasan global dan variabilitas iklim alami yang diperparah oleh kondisi lingkungan lokal.

  1. Pemanasan Global (Perubahan Iklim) Peningkatan suhu rata-rata bumi akibat emisi gas rumah kaca adalah biang keladi utamanya. Pemanasan ini “mengacaukan” siklus air dan atmosfer yang sudah mapan:
    • Kekeringan Lebih Kering: Suhu yang lebih panas meningkatkan penguapan (evaporasi) dari tanah dan permukaan air. Ini membuat tanah lebih cepat kering dan memperparah kondisi kekeringan.
    • Hujan Lebih Lebat: Atmosfer yang lebih hangat mampu menampung lebih banyak uap air. Saat kondisi mendukung terbentuknya hujan, uap air yang dilepaskan menjadi jauh lebih besar, mengakibatkan curah hujan yang sangat tinggi dalam waktu singkat (hujan ekstrem).
  2. Siklus El Niño dan La Niña (ENSO) Di Indonesia, siklus El Niño-Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik sangat memengaruhi cuaca:
    • El Niño: Sering dikaitkan dengan musim kemarau yang lebih panjang dan kering di Indonesia. Ini terjadi karena pemanasan suhu muka laut di Pasifik tengah dan timur menggeser area pembentukan awan hujan menjauh dari Indonesia.
    • La Niña: Berkebalikan dengan El Niño, La Niña menyebabkan suhu muka laut di sekitar Indonesia menjadi lebih hangat. Ini memicu pembentukan awan hujan (konveksi) yang lebih intensif, sehingga curah hujan meningkat drastis dan berpotensi menyebabkan banjir.

    Transisi yang Cepat: Pergeseran dari fase El Niño (kekeringan) ke fase La Niña (kebanjiran) dapat terjadi relatif cepat. Saat atmosfer yang sudah “kering” akibat El Niño tiba-tiba “dibasahi” oleh pasokan uap air berlebih dari La Niña, hasilnya adalah hujan ekstrem yang memicu banjir bandang.

  3. Faktor Lokal yang Memperparah Kondisi lingkungan lokal memainkan peran krusial dalam mengubah hujan ekstrem menjadi bencana banjir bandang:
    • Alih Fungsi Lahan: Berkurangnya daerah resapan air seperti hutan dan lahan hijau akibat pembangunan atau deforestasi.
    • Tanah Kering yang Merekah: Setelah kekeringan panjang, tanah menjadi keras, kering, dan merekah. Tanah seperti ini tidak dapat menyerap air hujan dengan cepat.
    • Drainase Buruk: Sistem drainase di perkotaan yang tidak memadai tidak mampu menampung volume air yang datang tiba-tiba.

Analogi Sederhana: Bayangkan tanah yang kering kerontang setelah berbulan-bulan tidak disiram (efek kekeringan/El Niño). Kemudian, Anda tiba-tiba menyiramnya dengan seember besar air sekaligus (efek hujan ekstrem/La Niña). Air tersebut tidak akan langsung meresap, melainkan akan menggenang dan meluap ke mana-mana. Itulah yang terjadi pada banjir bandang setelah musim kering.


 

dampak dari Cuaca Ekstrem

 

Pergeseran yang cepat antara dua kondisi ekstrem ini menimbulkan dampak berantai yang merugikan di berbagai sektor:

  • Lingkungan:
    • Erosi dan Longsor: Hujan deras yang mengguyur tanah kering memicu erosi besar-besaran dan meningkatkan risiko tanah longsor.
    • Kerusakan Ekosistem: Kekeringan memicu kebakaran hutan, dan banjir bandang merusak ekosistem sungai dan pesisir.
  • Manusia dan Ekonomi:
    • Krisis Pangan: Kekeringan menyebabkan gagal panen. Banjir yang datang tiba-tiba merendam sisa lahan pertanian, menyebabkan gagal panen total.
    • Krisis Air Bersih: Saat kekeringan, sumber air bersih menyusut. Saat banjir, sumber air bersih tercemar oleh luapan air kotor.
    • Kerusakan Infrastruktur: Banjir bandang dapat menghancurkan rumah, jembatan, jalan raya, dan fasilitas umum.
    • Kesehatan: Kekeringan meningkatkan penyakit pernapasan (akibat debu dan asap karhutla), sementara banjir meningkatkan penyebaran penyakit seperti diare, leptospirosis, dan demam berdarah.

Pada dasarnya, kita tidak lagi hanya menghadapi musim kemarau atau musim hujan yang “normal”, tetapi siklus yang bergeser antara “terlalu kering” dan “terlalu basah” dengan intensitas yang jauh lebih tinggi.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top