Krisis Iklim Telah Tiba: Membedah Realitas Pola Cuaca Ekstrem yang Kita Rasakan Sehari-hari

 

Kita semua merasakannya. “Panasnya sekarang beda,” keluh seorang pengemudi ojek daring di tengah teriknya Jakarta. “Sekalinya hujan, rasanya seperti langit tumpah,” timpal seorang petani di Jawa Barat yang cemas melihat sawahnya terendam. Ini bukan sekadar obrolan ringan tentang cuaca. Ini adalah kesaksian kolektif dari miliaran manusia di planet Bumi yang sedang mengalami gejala dari sebuah penyakit kronis: krisis iklim.

Selama puluhan tahun, krisis iklim digambarkan sebagai ancaman di masa depan. Sesuatu yang akan menimpa cucu kita. Sebuah grafik yang perlahan naik, menargetkan tahun 2050 atau 2100. Namun, narasi itu sudah usang. Krisis iklim bukanlah film fiksi ilmiah yang akan datang. Krisis itu telah tiba, dan ia tidak datang dalam bentuk kenaikan suhu rata-rata yang abstrak. Ia datang dalam bentuk yang nyata, brutal, dan kita rasakan sehari-hari: pola cuaca ekstrem.

Artikel ini akan membedah realitas tersebut, menyambungkan titik-titik antara emisi karbon yang tak terlihat dengan banjir yang merendam rumah kita, dan antara data ilmiah di laporan PBB dengan kekeringan yang menghanguskan ladang kita.

 

Dari “Pemanasan Global” Menjadi “Pendidihan Global”

 

Istilah “pemanasan global” (global warming) mungkin terdengar terlalu lembut. Ia memberi kesan seolah Bumi hanya menjadi sedikit lebih hangat, seperti menaikkan termostat ruangan satu derajat. Kenyataannya, bahkan kenaikan rata-rata 1,2° Celcius sejak era pra-industri sudah cukup untuk menyuntikkan energi dalam jumlah masif ke dalam sistem iklim planet ini.

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, pada tahun 2023 bahkan menyatakan bahwa era pemanasan global telah berakhir; “era pendidihan global telah tiba.”

Mengapa “pendidihan” adalah istilah yang lebih tepat? Karena energi ekstra ini tidak terdistribusi secara merata. Ia bertindak sebagai bahan bakar. Bayangkan Anda menyiramkan bensin ke api unggun yang stabil; Anda tidak hanya membuatnya sedikit lebih hangat, Anda membuatnya meledak-ledak secara tak terduga.

Itulah yang terjadi pada cuaca kita. Energi panas ekstra di atmosfer dan lautan “mengisi” badai, mengacaukan pola hujan, dan memperpanjang gelombang panas. Atmosfer yang lebih hangat mampu menahan lebih banyak uap air—sekitar 7% lebih banyak untuk setiap 1°C kenaikan suhu. Akibatnya, ketika hujan turun, curahnya jauh lebih ekstrem, memicu apa yang kita kenal sebagai bencana hidrometeorologi.


 

Wajah Ganda Bencana di Indonesia

 

Sebagai negara kepulauan tropis yang berada di “cincin api” dan persimpangan dua samudra, Indonesia adalah salahsatu “zona panas” (hotspot) krisis iklim. Kita mengalami dua wajah ekstrem dari fenomena yang sama.

 

1. Ekstrem Basah: Banjir, Longsor, dan Badai

 

Kita semakin akrab dengan istilah “hujan ekstrem.” Data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara konsisten menunjukkan peningkatan frekuensi dan intensitas hujan lebat di banyak wilayah Indonesia.

Ini bukan lagi siklus hujan musiman biasa. Ini adalah hujan yang dalam hitungan jam dapat melampaui rata-rata curah hujan bulanan. Hasilnya?

  • Banjir Bandang dan Perkotaan: Sistem drainase kota, yang dirancang untuk standar cuaca di masa lalu, kini tak sanggup menampung volume air yang datang begitu cepat. Kita melihat kota-kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya semakin sering lumpuh. Di daerah hulu, hujan ekstrem memicu banjir bandang dan tanah longsor yang mematikan, merenggut nyawa dan menghancurkan pemukiman.
  • Banjir Rob yang Kian Parah: Krisis iklim tidak hanya memanaskan, tapi juga menaikkan permukaan air laut (akibat ekspansi termal dan lelehan es kutub). Bagi kota-kota pesisir seperti Semarang, Pekalongan, dan Jakarta Utara, ini adalah mimpi buruk ganda. Banjir rob (banjir pasang) kini terjadi lebih sering, lebih tinggi, dan menggenang lebih lama, diperparah oleh penurunan muka tanah.
  • Siklon Tropis: Meskipun Indonesia secara historis aman dari jalur topan besar, pemanasan permukaan laut di sekitar wilayah kita telah memicu terbentuknya siklon tropis yang lebih kuat dan lebih dekat, seperti Siklon Seroja yang menghancurkan Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2021.

 

2. Ekstrem Kering: Kekeringan dan Kebakaran

 

Di sisi lain koin, energi panas yang sama juga memperparah kekeringan. Pola iklim alami seperti El Niño (yang menyebabkan kekeringan di Indonesia) kini menjadi jauh lebih kuat dan dampaknya lebih parah akibat pemanasan global.

Musim kemarau menjadi lebih panjang dan lebih kering. Suhu yang lebih tinggi menguapkan lebih banyak air dari tanah dan tanaman.

  • Krisis Air Bersih: Di wilayah seperti NTT, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, kekeringan parah bukan lagi anomali, melainkan siklus tahunan yang mengancam. Jutaan orang berjuang mendapatkan air bersih untuk minum dan sanitasi.
  • Gagal Panen: Sektor pertanian adalah korban pertama. Sawah retak-retak, jagung mengering sebelum panen. Petani, tulang punggung ketahanan pangan kita, kini bertaruh melawan cuaca yang tak bisa lagi mereka prediksi dengan “pranata mangsa” (kalender musim tradisional). Ini berdampak langsung pada harga pangan di meja makan kita.
  • Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla): Lahan gambut yang mengering dan vegetasi yang kering kerontang akibat panas ekstrem menjadi “bahan bakar” yang sempurna. Karhutla, terutama di Sumatera dan Kalimantan, menjadi lebih mudah tersulut dan jauh lebih sulit dipadamkan. Asapnya tidak hanya meracuni udara yang kita hirup (menyebabkan ISPA), tetapi juga melepaskan bom karbon masif ke atmosfer, menciptakan lingkaran setan pemanasan lebih lanjut.

 

Bukan “Keanehan” Lokal, Tapi Pola Global

 

Penting untuk dipahami bahwa apa yang kita alami di Indonesia bukanlah insiden yang terisolasi. Ini adalah bagian dari pola global yang terdokumentasi dengan baik.

  • Di Eropa Selatan, “heat dome” (kubah panas) memecahkan rekor suhu bersejarah, memicu kebakaran hutan dahsyat di Yunani dan Spanyol.
  • Di Pakistan, “banjir monster” pada tahun 2022 merendam sepertiga wilayah negara itu, dampak langsung dari pencairan glasial Himalaya yang dipercepat dan curah hujan monsun yang luar biasa ekstrem.
  • Di Amerika Utara, “sungai atmosferik” (atmospheric rivers) menyebabkan banjir besar di California, sementara di waktu lain, gelombang panas ekstrem “memanggang” Pasifik Barat Laut.

Ilmu pengetahuan kini bahkan bisa menghitung seberapa besar peran krisis iklim dalam sebuah bencana. Ini disebut ilmu atribusi (attribution science). Para ilmuwan kini dapat mengatakan dengan keyakinan tinggi, misalnya, “Gelombang panas ini 10 kali lebih mungkin terjadi akibat perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.”


 

Realitas Sehari-hari: Dari Cuaca Menjadi Krisis Sosial

 

Dampak cuaca ekstrem ini merambat jauh melampaui berita utama. Ia menyusup ke dalam aspek paling mendasar dari kehidupan kita sehari-hari.

  1. Ekonomi: Petani gagal panen berarti inflasi harga pangan. Nelayan tidak bisa melaut karena badai yang tak menentu. Infrastruktur (jembatan, jalan, rel kereta) rusak akibat banjir, mengganggu rantai pasok dan membebani APBN untuk perbaikan.
  2. Kesehatan: Gelombang panas meningkatkan risiko heat stroke, terutama bagi lansia, anak-anak, dan pekerja luar ruangan. Kualitas udara buruk akibat karhutla memperparah penyakit pernapasan. Banjir menyebarkan penyakit bawaan air seperti leptospirosis dan diare.
  3. Psikologis: Ada istilah baru: eco-anxiety atau kecemasan iklim. Hidup dalam ketidakpastian cuaca, cemas akan banjir berikutnya, atau stres melihat panen gagal, memberikan beban mental yang berat bagi masyarakat.

 

Kesimpulan: Ini Bukan “Normal Baru”

 

Kita sering mendengar istilah “normal baru” (new normal) untuk menggambarkan realitas iklim ini. Istilah ini berbahaya. “Normal” menyiratkan sebuah stabilitas baru. Apa yang kita alami bukanlah stabilitas; ini adalah destabilisasi aktif. Cuaca ekstrem akan terus menjadi lebih buruk, lebih sering, dan lebih tak terduga selama kita terus memompa gas rumah kaca ke atmosfer.

Krisis iklim telah beralih dari halaman jurnal ilmiah ke halaman depan surat kabar, dan kini ia mengetuk pintu rumah kita—seringkali dengan sangat keras, melalui angin, api, dan air.

Menerima kenyataan ini adalah langkah pertama yang menyakitkan namun penting. Ini bukan lagi soal menyelamatkan planet; ini soal menyelamatkan peradaban kita dari kondisi yang tidak dapat kita huni. Kita tidak bisa lagi hanya beradaptasi dengan membeli payung yang lebih besar atau membangun tanggul yang lebih tinggi. Kita harus, secara kolektif dan mendesak, mematikan “keran” penyebabnya: ketergantungan kita pada energi fosil.

Pola cuaca ekstrem yang kita rasakan hari ini adalah alarm paling keras yang dibunyikan oleh Bumi. Pertanyaannya bukan lagi “apakah krisis iklim itu nyata,” melainkan “apakah kita akan bertindak sekarang, saat alarm itu sudah memekakkan telinga?”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top